Senin, 01 Mei 2017

Mengelilingi Jakarta bersama Mbah Google


Pertama-tama ijinkan saya mengucapkan terimakasih mbah google, sudah menunjukkan arah perjalanan selama mengelilingi jakarta. Sehingga memungkinan perjalanan efisien dan efektif.
Luar biasa data yang mbah google punya, dan real time GPS menerobos semua kesulitan, mengurangi waktu bertanya, meyakinkan arah tujuan, kesasar pun aku rela kalau masih mbah google ha ha ha.... selama masih ada pulsa dan baterai HP, selalu ada jalan untuk kembali berputar-putar.


Perjalan ke depok sebenarnya ingin straightforward dalam waktu 2 jam. Namun karena busway yang ditumpangi no. 9 dari halte depan RS Harapan Kita sekiranya turun semanggi namun terlampaui, akhirnya kupilih melanjutkan sampai Cawang. Eh ga disangka ternyata pas ada stasiun kereta api :D
Mbah googel menyarankan kembali ke sudirman dengan kereta dan melanjutkan naik busway seperti rencana semula. Okelah aku naik ke arah sudirman. Sebenarnya aku lebih senang naik KRL daripada naik bus, walaupun harus berdiri, disamping dingin kereta juga tidak goyang-goyang.
Di atas kereta aku berpikir keras, sambil memandangi jalur kereta yg tertempel di atas pintu. Kuputuskan naik KRL daripada melanjutkan perjalanan naik busway. Walalupun sudah terlanjur kembali ke stasiun tanah abang, ya sudah tidak apa-apa balik lagi ke arah bogor.  Aku ga sempat melihat di peta ternyata dari stasiun bogor ke Cinere itu masih jauh. Awalnya kupikir asal perjalanan ke selatan pasti nyampai dan tidak terlalu jauh. Tidak banyak waktu untuk berpikir karena begitu sampai stasiun, kereta mau berangkat, dihantui takut ketinggalan kereta, terburu-buru langsung naik saja. Setengah menyesal karena tadi naik KRL, sudah berdiri satu jam di kereta, harusnya naik busway saja tadi  :(
Ternyata cinere agak jauh juga dari stasiun bogor, tapi sebentar ... ini kok ada Universitas Indonesia (UI) depok di peta, dan jaraknya sama jauh dari target stasiun  tujuan semula. Kebetulan lah, sekalian jalan-jalan ke kampus UI yg katanya asri itu. Akhirnya kuputuskan turun di stasiun UI.
Duduk sebentar berpikir di Halte bus UI, mau naik bus takut disuruh bayar ha ha ha... atau ga boleh karena bukan mahasiswa UI (Eh btw sebenarnya bayar ga sih naik bus itu). Pesen gojek kayaknya juga ga ada yang masuk kampus. Kuputuskan jalan kaki melewati taman UI via jalan lingkar utara. Enjoy juga kok jalan 3 kilometer, melewati hutan dan danau buatannya, ga terasa terlalu capek, sudah lama ga jalan jauh. Baru setelah melewati area kampus, keluar menuju perkampungan dan kos-kosan aku yakin pasti perjalanan berikutnya akan jauh lebih mudah. Tinggal 8 kilometer lagi mencapai target. Istirahat sholat dan makan di warung, baru lanjutkan dengan Go-Jek.
Komentarku untuk kos-kosan sekitar UI, alhamdulillah makan murah, tapi sayangnya musholla sepi dan kotor. Dibandingkan dengan tempat kosku waktu mahasiswa di sekitaran UGM dulu, di Jogja musholla lebih bersih dan biasanya ada mahasiswa yang jadi takmir mushollanya.

Episodenya selesai, selanjutnya temu kenal dan kangen dengan Om Hendry dan Tante Tutik.

Keesokan harinya, perjalanan diteruskan ke Parung tempat Mbah Supriyono. Lebih nyaman karena diantar mobil, namun tetep pakai panduan GPS mbah gugel yang sakti. Jalan sempit yang ga ada namanya pun bisa ketemu via google map. Pokoknya mantep, bahkan om Hendry yg semula tidak percaya sebagai warga depok sudah 10 tahun dan akan mengandalkan tanya, pulpen dan kertas untuk mencatat arahan dari sumber pinggir jalan, akhirnya menyerah dan mengakui kehebatan google map. Sampai akhirnya kita selamat sampai jalan yang tidak ada namanya di cabang Jl. Intan 1, silaturahmi ke Mbah Yon, lalu melanjutkan perjalanan ke ICE BSD untuk shopping buku di BBW, masuk keluar jalan tol 3 kali bayar, slipi dan diantar sampai kos di kota bambu selatan. Semua Alhamdulillah tepat, sesuai dengan perkiraan waktu, dan semua puas dengan perjalanan sehari itu.






Oh iya ada yang menarik selama perjalanan, aku menyaksikan pejalan kaki, yang kukira orang ga waras. Di sekitar Depok ada orang berpakaian putih, memakai seperti sarung hitam pendek, dan udeng/tutup kepala putih, membawa seperti tas putih, agak lusuh seperti karena perjalanan jauh. Katanya itu suku Badui luar, yang bertransaksi membawa hasil buminya ke kota. Rumahnya di Ujung Kulon, dan disana ada suku badui dalam yang tidak pernah berinteraksi dengan orang di luar daerahnya. Apakah benar seperti itu, sepertinya menarik untuk dikunjungi suatu saat nanti ada rejeki dan waktu. Hebat loh di jaman yang secanggih ini dan semua dilakukan dengan panduan google, masih ada orang yang teguh dengan adat melakukan perjalanan kaki tanpa GPS, tanpa mobil atau motor, tanpa transaksi online. Teguh dengan tradisi atau keras kepala ya.... Kontras sekali bukan?    

Minggu, 26 Maret 2017

Museum - Museum Jakarta

Keadaan hidup sangat berubah-ubah dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Setiap jaman ada manusianya dan setiap manusia ada jamannya. Bagi yang jeli melihat sama saja sebenarnya ada benang merahnya, bagi yang praktis melihatnya selalu tidak pernah ada yang sama. Iklim silih berganti, udara berganti dengan cepat seperti awan beriringan dengan matahari sebagai porosnya. Jaman berlalu menimbun sejarah yang pahit dan yang manis, generasi berikut mewarisi sebagian dan kehilangan lebih banyak.
Indahnya melihat lapisan-lapisan sejarah, dan bersyukur dengan yang sekarang. Sembari bersiap meninggalkan untuk manusia-manusia berikutnya.

Museum - Museum Jakarta, Maret 2017