Sobat yang lagi pingin baca tentang penyakit, ini saya punya tulisan tentang diphteria yang saya juga masih bingung harus nulisnya diphteria atau difteri (soalnya terjemahan dari diphteriae). kaloa mau file lengkap tulisan saya beserta power pointnya, boleh nanti saya usahakan upload. maklum masih belajar nulis blog, belum paham caranya naruh file power point dan word biar mudah dibaca di blog. Kita langsung aja ya... Diphtheria merupakan penyakit infeksi saluran nafas
bagian atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.
Ciri utama penyakit diphteri adalah nyeri tenggorokan, demam subfebris dan khas
terbentuk pseudomembran yang melekat pada tonsil, faring dan/atau rongga nasal.
Gejala khas lainnya adalah dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum dan lokal.
Secara keseluruhan, angka kematian akibat diphteria adalah sekitar 10%, tetapi prognosis bergantung pada jenis penyakit, usia dan keadaan umum pasien, serta jarak antara serangan penyakit dan terapi anti-toksin. Lebih dari separuh pasien dengan difteri leher lembu (bull neck diphteria) meninggal meskipun diberikan perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau gagal ginjal pada awal perjalanan penyakitnya.
Diphteria ini dapat menginfeksi namun tanpa gejala, penderitanya disebut karier. Manifestasi
infeksi diphteri yang paling ringan hanya menimbulkan kelainan yang terlokalisasi di
kulit, sedangkan bentuk yang lebih berat namun jarang terjadi adalah
miokarditis (sekitar 20% dari kasus) dan neuropati perifer (sekitar 10%). Difteri
pernah dijuluki sebagai “malaikat maut pencekik anak – anak” (The Strangling Angel of Children) pada
abad ke-4 sampai ke-5 SM, dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada
jaman belum ditemukannya vaksin.1
Roux dan Yersin memurnikan toksinnya di tahun
1889, kemudian tidak lama setelah itu ditemukan anti-toksinnya. Pada tahun
1920-an dapat diproduksi toxoid-nya.
Difteri
merupakan penyakit menular yang dulu sudah dapat dieradikasi dengan pemerataan vaksinasi
pada negara–negara industri. Contohnya di Amerika Serikat, dilaporkan hanya ditemukan 53
kasus difteri pada tahun 1980 sampai 2000. Setelah itu hanya dua kasus
dilaporkan pada awal abad ke-21 , dan yang
terakhir ditemukan pada tahun 2003.
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)
11,7-31,9%. Total anak yang terserang penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteria selama tahun
2011 mencapai 333 orang dan meninggal 11 orang. Angka ini meningkat
dibandingkan tahun 2010 sebesar 306 kasus, dan 21 orang diantaranya meninggal. Hingga
19 Oktober 2012, jumlah penderita difteri di Jawa Timur telah meningkat
sebanyak 710 orang.2 Berdasarkan data Surveilans Nasional, Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri
telah menyebar di beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Timur menyumbang 83%
kasus Difteri di Indonesia.3
Tabel 1. Peningkatan jumlah penderita
difteri di Jawa Timur
Masih terdapat peningkatan jumlah penderita sampai
sekarang dan belum ada kecendurungan menurun. Sehingga Pemerintah & Dinas
Kesehatan Jawa Timur menetapkan hal tersebut sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa)
penyakit Difteri sejak 7 Oktober 2011. Dan mulai 10 Oktober 2011 dalam Surat
Edaran Gubernur Jawa Timur No: 440/14954/031/2011 mencanangkan gerakan
Penanggulangan KLB Difteri secara serentak di 38 Kabupaten / Kota di seluruh
Jawa Timur.4
Mekanisme penting untuk manifestasi sistemiknya adalah toksin yang menghambat sintesis protein. Pada
kasus yang fatal sistim konduksi jantung dapat terkena toksin difteri kemudian mengalami
inflamasi akut pada nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular, sehingga
membuat disrupsi. Toksin difteri kardiotoksik
secara langsung dan pada proses sintesis protein menyebabkan fragmentasi DNA
serta sitolisis dengan menghambat aktivitas EF-2. 14
Selain proses
inflamasi jaringan intersitial, pada myokardium menunjukkan degenerasi hyalin
dan nekrosis. (gambar 10) Pemeriksaan
histologis postmortem menunjukkan sedikit myonekrosis atau difus
dengan proses respon inflamasi akut.
Tujuan
pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mengeliminasi C. diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati penyulit
dan infeksi penyerta.
Secara
umum, pasien diisolasi selama kurang lebih 2-3 minggu (sampai masa akut
terlampaui dan biakan hapus tenggorok / faring dan nasofaring negatif 2 kali
berturut-turut), kemudian dukungan nutrisi serta cairan yang baik.
Pengobatan
khusus terdiri atas :
- 1. Anti Difteri Serum (ADS) untuk menginaktivasi toksin yang masih beredar dengan dosis sesuai lokasi membran dan lama sakit. Dosis antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit. Dosis tidak berdasarkan berat badan, tetapi berdasar jumlah perkiraan dosis toksin yang telah beredar dalam darah. Dosis yang dianjurkan diberikan dalam tabel 1.
- 2. Antibiotik yang bertujuan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin serta memutus rantai penularan dengan Penisilin Prokain (50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi menjadi dua dosis) selama 10 hari atau bila ada riwayat hipersensitivitas pensilin, diganti dengan eritromisin (50 mg/kgBB/hari terbagi setiap 6 jam) selama 5 hari.
- 3. Kortikosteroid bila ada indikasi, yaitu pada keadaan obstruksi jalan nafas atas serta miokarditis, Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
Anti-toksin difteri
menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak memiliki efek pada toksin yang
telah terikat pada jaringan. Sehingga anti-toksin harus sesegera mungkin
diberikan setelah serangan penyakit, untuk memperkecil kemungkinan toksin sudah
terikat luas dan diproduksi lebih banyak.
Secara
khusus dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT dan pengobatan karier. Karena
seragan difteri tidak benar – benar menimbulkan kekebalan antitoksik, pasien
yang telah pulih harus tetap mendapatkan toksoid difteri.
Imunisasi
DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap
tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi
ulangan sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak
berumur 6 tahun.
Vaksinasi
DPT (difteri – pertussis – tetanus) direkomendasikan untuk semua anak usia
sekolah. Perlindungan vaksinasi berkurang dengan umur dan tanpa paparan ulang
yang konstan. Vaksin ini untuk bangsa Barat direkomendasikan terutama bagi yang
akan bepergian ke daerah yang belum tereradikasi.
Di
Indonesia apabila anak belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer
DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum
lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan,
tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun)
perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan satu kali.
Untuk
mencegah semakin meluasnya penyebaran difteri, di provinsi Jawa Timur telah diadakan
Kegiatan Gebyar Difteri. Kegiatan Sub PIN
Difteri ini diadakan dengan pemberian imunisasi tambahan secara serentak di 19
Kabupaten / Kota se-Jawa Timur kepada anak usia 2 bulan hingga 15 tahun tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya baik itu Balita Posyandu, Murid PAUD,
Murid TK, Murid SD maupun Murid SLTP.3
Pemberian
imunisasi digolongkan dalam 3 kelompok umur : vaksin DPT/Hb diberikan kepada anak usia 2 sampai 36 bulan,
vaksin DT diberikan kepada anak usia > 3 sampai 7 tahun, dan vaksin Td
diberikan kepada anak usia > 7 sampai 15 tahun.
Karier difteri adalah yang pembawa bakteri ini di tubuhnya namun tidak bergejala, yaitu mungkin merupakan keluarga atau orang dekat pasien yang diketahui terkena diphteri. Bagi karier ini seharusnya juga diobati. Pengobatan
yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari peroral maupun injeksi
intramuskular, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Karena banyaknya orang dengan diphteri namun tidak bergejala dan tidak diobati ini, menjadi alasan diphteri sulit diberantas.
Bila
pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian akibat sumbatan
saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila pseudomembran meluas ke
bronkus. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%.
Sesudah
sembuh dari penyakit akut, pasien masih mempunyai resiko mengalami kelumpuhan
atau miokarditis yang timbul kemudian setelah beberapa minggu. Gangguan jantung tersebut apabila berat dapat menyebabkan henti jantung.
Ini gambar EKG anak umur 5 tahun menunjukkan Total AV blok menetap, padahal sudah hampir sebulan dinyatakan sembuh dari sakit difteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar