Jumat, 17 Januari 2014

Sekilas Diphteria (atau difteri) :D

Sobat yang lagi pingin baca tentang penyakit, ini saya punya tulisan tentang diphteria yang saya juga masih bingung harus nulisnya diphteria atau difteri (soalnya terjemahan dari diphteriae). kaloa mau file lengkap tulisan saya beserta power pointnya, boleh nanti saya usahakan upload. maklum masih belajar nulis blog, belum paham caranya naruh file power point dan word biar mudah dibaca di blog. Kita langsung aja ya... Diphtheria merupakan penyakit infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Ciri utama penyakit diphteri adalah nyeri tenggorokan, demam subfebris dan khas terbentuk pseudomembran yang melekat pada tonsil, faring dan/atau rongga nasal.
Gejala khas lainnya adalah dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.

Secara keseluruhan, angka kematian akibat diphteria adalah sekitar 10%, tetapi prognosis bergantung pada jenis penyakit, usia dan keadaan umum pasien, serta jarak antara serangan penyakit dan terapi anti-toksin. Lebih dari separuh pasien dengan difteri leher lembu (bull neck diphteria) meninggal meskipun diberikan perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau gagal ginjal pada awal perjalanan penyakitnya.
Diphteria ini dapat menginfeksi namun tanpa gejala, penderitanya disebut karier. Manifestasi infeksi diphteri yang paling ringan hanya menimbulkan kelainan yang terlokalisasi di kulit, sedangkan bentuk yang lebih berat namun jarang terjadi adalah miokarditis (sekitar 20% dari kasus) dan neuropati perifer (sekitar 10%). Difteri pernah dijuluki sebagai “malaikat maut pencekik anak – anak” (The Strangling Angel of Children) pada abad ke-4 sampai ke-5 SM, dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada jaman belum ditemukannya vaksin.1
Roux dan Yersin memurnikan toksinnya di tahun 1889, kemudian tidak lama setelah itu ditemukan anti-toksinnya. Pada tahun 1920-an dapat diproduksi toxoid-nya. 
Difteri merupakan penyakit menular yang dulu sudah dapat dieradikasi dengan pemerataan vaksinasi pada negara–negara industri. Contohnya di Amerika Serikat, dilaporkan hanya ditemukan 53 kasus difteri pada tahun 1980 sampai 2000. Setelah itu hanya dua kasus dilaporkan pada awal abad ke-21 , dan yang terakhir ditemukan pada tahun 2003.
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Total anak yang terserang penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteria selama tahun 2011 mencapai 333 orang dan meninggal 11 orang. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 306 kasus, dan 21 orang diantaranya meninggal. Hingga 19 Oktober 2012,  jumlah penderita difteri di Jawa Timur telah meningkat sebanyak 710  orang.2 Berdasarkan data Surveilans Nasional, Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri telah menyebar di beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Timur menyumbang 83% kasus Difteri di Indonesia.3
Tabel 1. Peningkatan jumlah penderita difteri di Jawa Timur

Masih terdapat peningkatan jumlah penderita sampai sekarang dan belum ada kecendurungan menurun. Sehingga Pemerintah & Dinas Kesehatan Jawa Timur menetapkan hal tersebut sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit Difteri sejak 7 Oktober 2011. Dan mulai 10 Oktober 2011 dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No: 440/14954/031/2011 mencanangkan gerakan Penanggulangan KLB Difteri secara serentak di 38 Kabupaten / Kota di seluruh Jawa Timur.4
Mekanisme penting untuk manifestasi sistemiknya adalah toksin yang menghambat sintesis protein. Pada kasus yang fatal sistim konduksi jantung dapat terkena toksin difteri kemudian mengalami inflamasi akut pada nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular, sehingga membuat disrupsi. Toksin difteri kardiotoksik secara langsung dan pada proses sintesis protein menyebabkan fragmentasi DNA serta sitolisis dengan menghambat aktivitas EF-2. 14

Selain proses inflamasi jaringan intersitial, pada myokardium menunjukkan degenerasi hyalin dan nekrosis. (gambar 10) Pemeriksaan  histologis postmortem menunjukkan sedikit myonekrosis atau difus dengan proses respon inflamasi akut.

Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mengeliminasi C. diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati penyulit dan infeksi penyerta.
Secara umum, pasien diisolasi selama kurang lebih 2-3 minggu (sampai masa akut terlampaui dan biakan hapus tenggorok / faring dan nasofaring negatif 2 kali berturut-turut), kemudian dukungan nutrisi serta cairan yang baik.
Pengobatan khusus terdiri atas :
  1. 1.    Anti Difteri Serum (ADS) untuk menginaktivasi toksin yang masih beredar dengan dosis sesuai lokasi membran dan lama sakit. Dosis antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit. Dosis tidak berdasarkan berat badan, tetapi berdasar jumlah perkiraan dosis toksin yang telah beredar dalam darah. Dosis yang dianjurkan diberikan dalam tabel 1.
  2. 2.  Antibiotik yang bertujuan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin serta memutus rantai penularan dengan Penisilin Prokain (50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi menjadi dua dosis) selama 10 hari atau bila ada riwayat hipersensitivitas pensilin, diganti dengan eritromisin (50 mg/kgBB/hari terbagi setiap 6 jam) selama 5 hari.
  3. 3.    Kortikosteroid bila ada indikasi, yaitu pada keadaan obstruksi jalan nafas atas serta miokarditis, Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.

Anti-toksin difteri menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak memiliki efek pada toksin yang telah terikat pada jaringan. Sehingga anti-toksin harus sesegera mungkin diberikan setelah serangan penyakit, untuk memperkecil kemungkinan toksin sudah terikat luas dan diproduksi lebih banyak.
Secara khusus dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT dan pengobatan karier. Karena seragan difteri tidak benar – benar menimbulkan kekebalan antitoksik, pasien yang telah pulih harus tetap mendapatkan toksoid difteri.
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur 6 tahun.
Vaksinasi DPT (difteri – pertussis – tetanus) direkomendasikan untuk semua anak usia sekolah. Perlindungan vaksinasi berkurang dengan umur dan tanpa paparan ulang yang konstan. Vaksin ini untuk bangsa Barat direkomendasikan terutama bagi yang akan bepergian ke daerah yang belum tereradikasi.
Di Indonesia apabila anak belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan satu kali.
Untuk mencegah semakin meluasnya penyebaran difteri, di provinsi Jawa Timur telah diadakan Kegiatan Gebyar Difteri. Kegiatan Sub PIN Difteri ini diadakan dengan pemberian imunisasi tambahan secara serentak di 19 Kabupaten / Kota se-Jawa Timur kepada anak usia 2 bulan hingga 15 tahun tanpa memandang status imunisasi sebelumnya baik itu Balita Posyandu, Murid PAUD, Murid TK, Murid SD maupun Murid SLTP.3
Pemberian imunisasi digolongkan dalam 3 kelompok umur : vaksin DPT/Hb diberikan kepada anak usia 2 sampai 36 bulan, vaksin DT diberikan kepada anak usia > 3 sampai 7 tahun, dan vaksin Td diberikan kepada anak usia > 7 sampai 15 tahun.
 Karier difteri adalah yang pembawa bakteri ini di tubuhnya namun tidak bergejala, yaitu mungkin merupakan keluarga atau orang dekat pasien yang diketahui terkena diphteri. Bagi karier ini seharusnya juga diobati. Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari peroral maupun injeksi intramuskular, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Karena banyaknya orang dengan diphteri namun tidak bergejala dan tidak diobati ini, menjadi alasan diphteri sulit diberantas. 
Bila pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian akibat sumbatan saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila pseudomembran meluas ke bronkus. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%.
Sesudah sembuh dari penyakit akut, pasien masih mempunyai resiko mengalami kelumpuhan atau miokarditis yang timbul kemudian setelah beberapa minggu. Gangguan jantung tersebut apabila berat dapat menyebabkan henti jantung.
Ini gambar EKG anak umur 5 tahun menunjukkan Total AV blok menetap, padahal sudah hampir sebulan dinyatakan sembuh dari sakit difteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar