Minggu, 04 Agustus 2013

Atrial Fibrilasi pada Chronic Kidney Dissease

Atrial Fibrilasi pada Chronic Kidney Dissease

Obat-obatan yang Sering digunakan pada Rumah Sakit


Atrial fibrilasi (AF) sering terjadi pada pasien yang menderita Chronic Kidney Dissease (CKD) atau gagal ginjal, terutama pada centre yang mempunyai unit hemodialisa. Pada pasien gagal ginjal lambat laun juga akan terjadi cardiorenal syndrome, sehingga terjadi Heart Failure (HF) atau gagal jantung. CKD dan HF, keduanya merupakan faktor resiko atau etiologi terjadinya AF.
Atrial fibrilasi diklasifikasikan menjadi :
1.       Paroksismal AF : yakni AF yang menghilang sendiri dalam waktu 48 jam.
2.       Persisten AF : bertahan lebih dari 48 jam atau yang hanya dapat diterminasi dengan kardioversi.
3.       Permanen AF : AF yang tidak dapat kembali ke irama sinus dengan terapi konvensional.
Pada paroksismal AF dan persisten AF pengobatan ditujukan kepada rhytm control. Sedangkan pada AF permanen ditujukan untuk ventricular rate / rate control, sehingga dapat meningkatkan status hemodinamik (www.oxfordjournals.org).
Pengobatan AF pada intinya untuk stabilisasi hemodinamik, kemudian rate control, kemudian pencegahan komplikasi emboli. Jika AF tidak dapat diterminasi secara spontan, manajemen farmakologi diberikan untuk mengurangi rate control, jika mungkin tercapai pengobatan ditujukan untuk menghentikan atrial fibrilasi dan mengembalikan ke irama sinus (www.AAFP.org).

Terapi ventricular rate control :

1.       Bisoprolol. Metabolisme ekstensif di hepar (-20%). Half life pada normal renal clearance 9 -12 jam. Clearance Creatinin (Clcr) <40 mL/mnt = 27 – 36 jam. Waktu puncak 2 – 4 jam. Ekskresi di renal (50%), feses <2%. Adjusting renal dose  Clcr <40 mL/mnt = mulai dari dosis 2,5 mg/hr, ditingkatkan secara berhati – hati karena dapat meningkatkan kadar kalium.
2.       Esmolol (β-blocker yang terbaik untuk fase akut menurut penulis). Sangat kardioselektif, dapat diberikan intravena dengan half life yang sangat pendek 10 menit. Dimetabolisme oleh eritrosit esterase sehingga tidak perlu restriksi farmakokinetik. Dosis 10 – 20 mg bolus.
3.       Verapamil. Metabolisme extensif di hepar. Half life (single dose) : 2 – 8 jam; dosis multiple 4,5 – 12 jam, semakin panjang apabila terdapat sirosis hepar. Ekskresi urine (70%); feses (16%). Adjusting dose renal, Clcr < 10 mL/mnt = berikan 50% - 75% dari dosis normal. Hati – hati karena dapat menimbulkan av block.
4.       Diltiazem. Metabolisme ekstensif di hepar. Half – life : 3 – 4,5 jam, dapat memanjang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Pada gagal ginjal dan hepar harus digunakan secara berhati – hati.
5.       Digoxin. Digoxin pilihan terakhir pada AF dengan CKD, mengingat efektivitasnya yang rendah dan toksisitas yang sempit rentangnya, lagipula eliminasi utamanya di renal. Pasien dengan gangguan fungsi renal harus dimonitor ketat dosisnya sehingga mencapai konsentrasi dalam darah 0,7 – 1 µg/L. Digoxin-steady state dengan dosis tersebut harus dicapai dan dimonitor pada pencegahan terjadinya AF, karena jika melebihi akan membuat hasil yang lebih buruk terutama pada wanita. Dan juga harus diperhitungkan waktu paruhnya yang panjang 36 jam, dan akan lebih panjang pada CKD. Adjusting dose untuk Clcr 10 – 5- mL/mnt 25 – 75 % dosis normal; Clcr <10 mL/mnt dosis diberikan 10 – 25 %.

Terapi Rhytm Control :

Amiodaron merupakan terapi AF yang pada dosis rendah digunakan sebagai profilaksis. Dimetabolisme di hepar, sehingga cukup aman pada CKD. Tidak terhemodialisa (0 – 5 %) sehingga tidak perlu menambah dosis pada hemodialisa rutin.

Pencegahan Komplikasi Emboli :

Warfarin. Onset antikoagulasi oral 24 – 72 jam, full therapeutic effect 5 – 7 jam. INR sudah mulai meningkat pada 36 – 72 jam (rata – rata 40 jam). Tidak diperlukan penyesuaian dosis renal, namun resiko perdarahan akan meningkat.
(Drug Information Handbook 17th ed., 2009)
Pengobatan pada cardiorenal syndrome yang lain yang perlu diperhatikan juga Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-i), Renin Inhibitor, Angiotensin Receptor Antagonist’s (ARB’s), Minerolocorticoid Receptor Antagonist’s (MRA’s) seringkali dapat menurunkan Glomerular Filtration Rate (GFR), namun biasanya menurunkan sedikit, dan tidak perlu untuk menghentikan terapi. (ESC Guideline HF, 2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar