Atrial Fibrilasi pada Chronic Kidney Dissease
Obat-obatan yang Sering digunakan pada Rumah Sakit
Atrial fibrilasi (AF) sering
terjadi pada pasien yang menderita Chronic Kidney Dissease (CKD) atau gagal
ginjal, terutama pada centre yang mempunyai unit hemodialisa. Pada pasien gagal
ginjal lambat laun juga akan terjadi cardiorenal syndrome, sehingga terjadi
Heart Failure (HF) atau gagal jantung. CKD dan HF, keduanya merupakan faktor
resiko atau etiologi terjadinya AF.
Atrial fibrilasi diklasifikasikan
menjadi :
1. Paroksismal
AF : yakni AF yang menghilang sendiri dalam waktu 48 jam.
2. Persisten
AF : bertahan lebih dari 48 jam atau yang hanya dapat diterminasi dengan
kardioversi.
3. Permanen
AF : AF yang tidak dapat kembali ke irama sinus dengan terapi konvensional.
Pada paroksismal AF dan persisten
AF pengobatan ditujukan kepada rhytm control. Sedangkan pada AF permanen
ditujukan untuk ventricular rate / rate control, sehingga dapat meningkatkan
status hemodinamik (www.oxfordjournals.org).
Pengobatan AF pada intinya untuk
stabilisasi hemodinamik, kemudian rate control, kemudian pencegahan komplikasi
emboli. Jika AF tidak dapat diterminasi secara spontan, manajemen farmakologi
diberikan untuk mengurangi rate control, jika mungkin tercapai pengobatan
ditujukan untuk menghentikan atrial fibrilasi dan mengembalikan ke irama sinus
(www.AAFP.org).
Terapi ventricular rate control :
1. Bisoprolol.
Metabolisme ekstensif di hepar (-20%). Half life pada normal renal clearance 9
-12 jam. Clearance Creatinin (Clcr) <40 mL/mnt = 27 – 36 jam.
Waktu puncak 2 – 4 jam. Ekskresi di renal (50%), feses <2%. Adjusting renal
dose Clcr <40 mL/mnt =
mulai dari dosis 2,5 mg/hr, ditingkatkan secara berhati – hati karena dapat
meningkatkan kadar kalium.
2. Esmolol
(β-blocker
yang terbaik untuk fase akut menurut penulis). Sangat kardioselektif, dapat
diberikan intravena dengan half life yang sangat pendek 10 menit. Dimetabolisme
oleh eritrosit esterase sehingga tidak perlu restriksi farmakokinetik. Dosis 10
– 20 mg bolus.
3. Verapamil.
Metabolisme extensif di hepar. Half life (single dose) : 2 – 8 jam; dosis
multiple 4,5 – 12 jam, semakin panjang apabila terdapat sirosis hepar. Ekskresi
urine (70%); feses (16%). Adjusting dose renal, Clcr < 10 mL/mnt
= berikan 50% - 75% dari dosis normal. Hati – hati karena dapat menimbulkan av
block.
4. Diltiazem.
Metabolisme ekstensif di hepar. Half – life : 3 – 4,5 jam, dapat memanjang jika
terdapat gangguan fungsi ginjal. Pada gagal ginjal dan hepar harus digunakan
secara berhati – hati.
5. Digoxin.
Digoxin pilihan terakhir pada AF dengan CKD, mengingat efektivitasnya yang
rendah dan toksisitas yang sempit rentangnya, lagipula eliminasi utamanya di
renal. Pasien dengan gangguan fungsi renal harus dimonitor ketat dosisnya
sehingga mencapai konsentrasi dalam darah 0,7 – 1 µg/L. Digoxin-steady state dengan
dosis tersebut harus dicapai dan dimonitor pada pencegahan terjadinya AF,
karena jika melebihi akan membuat hasil yang lebih buruk terutama pada wanita.
Dan juga harus diperhitungkan waktu paruhnya yang panjang 36 jam, dan akan
lebih panjang pada CKD. Adjusting dose untuk Clcr 10 – 5- mL/mnt 25
– 75 % dosis normal; Clcr <10 mL/mnt dosis diberikan 10 – 25 %.
Terapi Rhytm Control :
Amiodaron merupakan terapi AF
yang pada dosis rendah digunakan sebagai profilaksis. Dimetabolisme di hepar,
sehingga cukup aman pada CKD. Tidak terhemodialisa (0 – 5 %) sehingga tidak
perlu menambah dosis pada hemodialisa rutin.
Pencegahan Komplikasi Emboli :
Warfarin. Onset antikoagulasi
oral 24 – 72 jam, full therapeutic effect 5 – 7 jam. INR sudah mulai meningkat
pada 36 – 72 jam (rata – rata 40 jam). Tidak diperlukan penyesuaian dosis
renal, namun resiko perdarahan akan meningkat.
(Drug Information
Handbook 17th ed., 2009)
Pengobatan pada cardiorenal
syndrome yang lain yang perlu diperhatikan juga Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-i), Renin Inhibitor, Angiotensin Receptor Antagonist’s (ARB’s),
Minerolocorticoid Receptor Antagonist’s (MRA’s) seringkali dapat menurunkan
Glomerular Filtration Rate (GFR), namun biasanya menurunkan sedikit, dan tidak
perlu untuk menghentikan terapi. (ESC Guideline HF, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar