Pemeliharaan Kesehatan Setelah Serangan Jantung
Jantung bisa diibaratkan karet
ban, karena sifatnya yang elastis, semakin banyak diisi oleh darah semakin
banyak juga darah yang dikeluarkannya. Jantung merupakan sebuah pompa yang
tidak pernah berhenti bekerja sepanjang hidup kita. Anda bisa lakukan percobaan
dengan mengepalkan lalu membuka tangan anda sendiri – sendiri, 60 kali
permenit, lakukan dalam waktu satu jam saja. Capek kan ? Jantung berdenyut seperti tangan anda
mengepal dan membuka minimal 60 kali permenit seumur hidup, bahkan saat anda
tidur. Jika anda berumur 20 tahun, minimal jantung sudah berdenyut 20 tahun x
365 hari x 24 jam x 60 menit x 60 kali, kira – kira 630,72 juta kali. Bisa
dibanyangkan kapasitas kerja yang harus dipunyai jantung, itupun kalau terjadi
stress fisik dan mental jantung berdenyut 2 kali bahkan sampai 3 kali lebih
cepat.
Penyakit jantung koroner adalah
sumbatan suplai “jatah hidup” bagi otot jantung sehingga mengalami kematian
otot, yang kemudian jantung menjadi lemah dan rapuh. Beban kerja yang begitu
besar dan nonstop ini, harus diikuti kecukupan jatah hidupnya berupa energi dan
oksigen. Bisa dibayangkan kalau otot jantung ini adalah pekerja tambang batu
bara yang ada di kedalaman 50 meter dibawah tanah, tiba – tiba tidak di beri
jatah makanannya dan lubang tanahnya tertutup. Pasti akan segera panik, pingsan
lalu mati. Penyakit jantung koroner juga seperti itu, saat terjadi gejala nyeri
dada yang awal dan khas ini ibarat pekerja tambang yang panik karena jatah
hidupnya berkurang, ini dinamakan angina
pectoris. Jika tidak segera ditolong dalam 20 menit otot jantung ini akan
mengalami proses iskemi, atau mirip
pekerja tambang yang pingsan. Jika diberi obat – obatan dan tindakan medis yang
hanya tersedia di rumah sakit tertentu, untuk melancarkan jatah hidupnya, otot
jantung yang pingsan ini bisa hidup lagi. Namun jika dibiarkan tidak
mendapatkan penanganan beberapa otot jantung yang saluran jatah hidupnya
tersumbat akan mati, dinamakan infark
miokard.
Kolesterol atau lemak jahat lah
sebagai tersangka penyumbat paling utama untuk penyakit pembuluh darah koroner. Pada saat muncul gejala angina, sebenarnya sudah lebih dari 60
persen luas permukaan lubang pembuluh darah jantung (lumen koroner) yang
tersumbat oleh plak lemak. Plak ini bisa dibayangkan seperti kotoran sisa
makanan yang lengket di bagian dalam pipa tempat cuci piring di rumah tangga. Sehingga
apabila seseorang di usia 50 tahun terkena serangan jantung, sudah sebagian
besar pembuluh darah jantungnya yang tersumbat. Dikatakan di literatur sudah
dimulai proses penumpukan lemak itu sejak umur 20 tahun.
Proses jejas endotel (kerusakan bagian
dalam pembuluh darah jantung) terjadi secara progresif bisa terjadi karena
seseorang mempunyai enam faktor resiko utama, yaitu : 1. Jenis kelamin laki –
laki, 2. Riwayat keluarga sakit jantung, 3. Kencing manis / diabetes, 4.
Tekanan darah tinggi / hipertensi, 5. Lemak darah tinggi / hiperlipidemia, 6.
Merokok. Faktor resiko pertama dan kedua tidak bisa dirubah, namun yang lainnya
bisa diperbaiki oleh perubahan pola hidup dan obat – obatan.
Cardiac continuum, adalah hipotesa bahwa
setelah seseorang mempunyai faktor resiko untuk terkena penyakit jantung,
kemudian terkena infark miokardium /
kematian otot jantung, lalu jantung akan melemah daya pompanya dan mengalami
komplikasi ganguan irama. Kemudian jantung yang lemah ini akan membesar /
membengkak karena harus bekerja lebih keras akibat ada kelemahan di satu
bagian, bagian jantung yang lain harus mengkompensasinya. Setelah jantung
membengkak inilah semakin beresiko terjadi infark ataupun ganguan irama
jantung. Sementara waktu ketika diobati jantung
mengalami perbaikan, tapi biasanya selalu ada bagian lain yang terkena infark lagi. Kemudian semakin melemah
daya pompanya dan tidak karuan iramanya, lalu berlanjut terus sampai terjadi
gagal jantung yang memberat dan kematian. Disebut lingkaran setan yang membuat
frustasi dan semakin sulit diobati.
Bagaimana agar
putus rantai sakit jantung yang berlanjut ini ? Hal inilah yang sering ditekan
– tekankan dokter yaitu untuk mengendalikan faktor resiko. Semua faktor resiko
yang bisa diperbaiki yang membuat seseorang terkena sakit jantung koroner
adalah hal yang harus diperhatikan lebih ketat setelah terkena serangan
jantung. Pola hidup sebelumnya yatu merokok, diit yang menyebabkan diabetes,
hipertensi dan hiperlipidemia, kurang olahraga, adalah target perubahan untuk
memutus siklus perburukan sakit jantung.
Justru kesulitan
yang dialami setelah mengalami kejadian jejas endotel adalah hal yang paling
mudah diucapkan oleh dokter tapi paling sulit dilaksanakan oleh pasien, tentang
menyesuaikan pola hidup. Kebiasaan dan selera makan, aktivitas sehari - hari,
manajemen stress dan hubungan interpersonal, penjagaan tekanan darah, kadar
gula dan lemak dengan rutin mengkonsumsi obat – obatan yang diresepkan adalah
pola hidup.
***
Setiap orang
yang merokok sebenarnya sudah tahu bahwa dia ada dalam ujung tanduk yang suatu
saat mungkin akan mencelakakan, namun tidak kuasa jari dan mulutnya untuk tidak
menyulut asap rokok. Mungkin perokok beralasan yang mengharuskan merokok karena
setelah makan mulutnya terasa asam, atau tekanan stress yang rileks setelah menghisap
nikotin. Tapi sebenarnya alasan yang utama dan sulit diatasi adalah bahwa telah
sekian tahun terjadi secara spontan, dalam memori otaknya bahwa pilihan yang “logis”
bagi tubuhnya adalah untuk selalu menyulut dan menghisap asap rokok. Ini
menyebabkan pola hidupnya adalah merokok.
Sulitnya merubah
pola hidup ini sama sulitnya dengan merubah adat. Karena pola hidup ini adalah
pilihan yang selalu diambil tanpa berpikir sebelum sakit, oleh karena itu untuk
merubah pola ini setelah sakit harus dibangun dengan membuat kebiasaan baru.
Kebiasaan lama harus diilawan dengan kebiasaan baru, dan karena sakit harusnya
sudah menjadi peringatan keras untuk merubah kebiasaan lama. Misalnya untuk
merubah kebiasaan lama merokok, harus dipaksakan dirubah dengan kebiasaan tidak
merokok dan menghindari lingkungan dengan asap rokok.
Perubahan
kebiasaan makan, lebih sulit lagi. Karena dalam benak dan memorinya makanan
halal, enak, sudah menjadi selera kok tidak boleh. Tapi dengan usaha keras,
membiasakan kebiasaan baru yang lebih baik, lakukan minimal selama 21 hari
berturut – turut, maka akan menjadikan kebiasaan baru. Menurut Dr. Maxwell Maltz, dalam
bukunya “Psycho-Cybernetics”, kebiasaan dibangun dari melakukan sesuatu
yang sama secara berulang-ulang dan hampir setiap hari. Artinya, kita harus
melakukan perbuatan itu berulang kali secara konsisten, sampai otak kita
merekam pesan bahwa hal tersebut adalah kebiasaan kita. Saat otak sudah merekam,
maka secara otomatis otak akan “mengingatkan” kita untuk melakukan hal tersebut
jika sudah waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar